Segelas Teh Susu dan Es Jeruk

Gigi atas dan bawahku bertemu dan mulai mencabik perlahan daging ayam yang tengah menjadi sanyapan makan siang ku hari ini. Setetes demi setetes keringat mulai bercucuran membasahi pelipisku seraya suapan demi suapan sambal masuk ke dalam mulutku.

Ayam penyet.

Menu favoritku dan juga ke empat temanku seraya melepas penat di kampus. Tak perlu menyita banyak waktu untuk mengunjungi “Warung Ayam Penyet Bu Ani” yang terletak tidak jauh dari kampusku. Itulah enaknya menjadi mahasiswa yang menimba ilmu di sebuah kampus yang posisinya di dalam sebuah kampus lain. Akses kemana-mana terasa dekat sangat strategis.

Pesananku siang itu masih sama seperti sebelumnya.

Ayam  penyet dada, tahu goreng, nasi uduk dan minuman favoritku untuk melepas rasa pedas es teh tawar. Aku tidak pernah memesan menu lain selain ini. Entah karena aku takut mencoba atau aku takut kehilangan cita rasa pedas yang mengiris lidah dan tenggorokanku.

Suasana siang ini di Warung Ayam Penyet Bu Ani cukup sepi. Hhanya ada beberapa orang yang duduk dan menyantap makanannya sambil sesekali bercanda gurau dengan rekan semejanya. Ada juga beberapa orang yang berlalu lalang untuk membungkus makanan yang ia pesan lalu pulang.

Tiba-tiba ada dua orang anak kecil yang datang.

Dia sudah tidak asing lagi di mataku. Dengan baju pramuka dan rok coklat yang sedikit lusuh dan satu lagi memakai kaos putih yang terlihat sudah using termakan waktu.

2 anak kecil itu menghampiri satu persatu meja makan yang ada di Warung ini seraya berkata,

“Permisi kak…” sambil memberikan sepucuk kertas yang bertuliskan



“Tolong bantu saya untuk bayar sekolah”

Dengan berbekal tulisan karya anak sekolah dasar, mereka menghampiri satu demi satu orang yang ada di warung makan tersebut.

Aku mengamati mereka berkeliling dan meminta selembar rupiah tetapi sayang tidak ada satupun yang memberinya uang atau bahkan senyuman.

Lalu mereka duduk tepat di belakang meja makanku seraya merapihkan kertas-kertas yang menjadi jurus ampuh meminta selembar uang rupiah.

Aku masih mengingat anak ini. Beberapa waktu silam aku pernah bercengkrama dengannya di tempat yang sama. Warung ayam penyet bu ani.

Kala itu mereka membagikan amplop yang berisi kata-kata kalau mereka butuh bantuan untuk membayar biaya sekolah. Lalu aku bertanya kepada mereka,

“kamu dari jam berapa keliling untuk minta-minta?”
“Abis pulang sekolah kak sampe malem”
“lalu kalo uanggnya dapet dikit gimana?”
“nanti aku di marahin terus dipukulin ibu aku”

Aku sedih mendengarnya. Bukan sedih karena mereka dimarahi dan diipukuli oleh ibunya, tetapi aku melihat tidak ada guratan kejujuran di matanya. Aku bahkan tak tahu apakah ini perasaanku saja atau memang begitu adanya.



Bisa dibilang aku mudah sekali merasa iba melihat kesulitan dari yang orang lain rasakan, tetapi entah kenapa dengan kedua anak ini aku merasa biasa saja.

Ah sudahlah, mungkin ini hanya prasangka buruk dari pikiraanku saja.


Kejadian ini bukan menjadi pertemuan terakhirku dengan mereka. Aku kerap kali bertemu dengannya di Stasiun yang berada di kampusku dengan profesi mereka yang sama. Meminta-minta.

Lalu sekarang aku dipertemukan lagi olehnya di tempat pertama kali aku bertemu mereka. Mungkin Tuhan memintaku untuk membuat mereka tersenyum hari itu.

“Dek,k amu rumahnya dimana?”
“Di Citayam kak.”

Jauh sekali. Batinku. Jarak antara Depok dan Citayam membutuhkan waktu yang cukup lama untuk anak seusia mereka.

“Kamu kesini sama siapa dong? Kan jauh.”
“kesininya naik kereta sama mama aku.”
“sekarang mama kamu dimana?”
“di stasiun kak.”
“Ngapain?”
“minta-minta juga.”



Ada keheningan yang terjadi di antara aku dan juga teman-temanku. Aku tahu teman-temanku ini ingiin banyak lebih tau tentang dua anak belia ini. Lalu aku memesankan nasi dan ayam untuk mereka sekedar mengganjal rasa lapar karena sudah seharian berkeliling mencari selembar rupiah.

Ternyata mereka kakak beradik. Pantas saja mereka terlihat begitu identik dengan rambut berpotongan setara dengan leher dan terdapat beberap helai yang warnanya tidak lagi hitam karena termakan oleh sinar matahari yang acapkali harus mereka lalui. Sang kakak masih menginjak kelas 2 di sebuah sekolah dasar dan sang adik  belum bersekolah.

“Kak, aku mau minum teh susu ya!”  kata sang kakak dengan semangat.

Sang adik terlihat kebingungan memilih minuman apa yang ingin ia minum. Sang kakak membantu memilihkan jenis minuman yang terlihat enak dan mereka idam-idamkan.

“kak, kalo aku teh jeruk satu ya!” itulah pilihan sang adik.

Ada kepuasan melihat senyuman dan candaan mereka seraya menunggu pesanan datang. Banyak hal yang aku ketahui tentang mereka.

“Kamu biasanya makan apa?”
“Makan warteg sama ibu belinya empat ribu. Du ribu buat nasi, dua ribu lagi lauknya tempet sama tahu.”
“Enak nggak?”
“Nggak enak kak makan begitu tiap hari.”
“Lah terus kenapa di makan?”
“Ya dari pada kelaperan seharian abis muter-muter yaudah aku makan aja.”

Terbesit mimik wajah kepolosan yang tersirat di wajahnya. Tidak seperti waktu pertama kalii aku berbincang dengannya.

Ternyata mereka sepuluh orang bersaudara tetapi anak kesepuluh sudah meninggal dunia. Mereka merupakan keluarga kecil yang mencoba bertahan hidup dikerasnya dunia ibukota. Beberapa diantara mereka menetap di kampung halaman dan sebagian lagi berada di citayam. Pekerjaan ayah mereka adalah seorang….entahlah mereka hanya bilang “mendorong gerobak” dan kakak beradik serta ibunya harus rela meminta-minta untuk kebutuhan sehari-hari.

Dua puluh ribu rupiah, itu adalah angka terbesar yang mereka dapatkan atas segala jerih payah dan keringat yang mereka keluarkan dalam satu hari. Tidak jarang dalam satu hari mereka hanya mendapat sepuluh ribu rupiah. Bukan angka yang besar untuk memenuhi segala kebutuhan hidup di zaman ini.

Seusai sekolah mereka bergegas menuju Depok untuk mencari nafkah hingga malam hari. Selalu seperti itu rutinitas yang mereka lakukan setiap hari.

“kalo sekarang lagi liburan jadi aku nggak pulang kak, tidurnya dipinggir jalan deh setiap malem.”

Tanpa beban, tanpa luka dan derita mereka menceritakan apa yang mereka rasakan seolah mereka begitu menikmati pekerjaan yang seharusnya tidak mereka lakukan. Himpitan ekonomi dan paksaan untuk bertahan hidup. Mungkin alasan ini yang membuat mereka turun kejalan dan menjadi saksi bisu kerasnya mencari sesuap nasi.



Aku tertawa seraya gemas ketika mendengar sang kakak ingin menjadi guru dan sang adik ingin menjadi dosen namun ketika kutanyakan apa bedanya guru dan dosen mereka kompak menggelengkan kepala mereka.

Percakapan yang singkat namun sangat berkualitas. Sebenarnya aku ingin menanyakan pertanyaan yang sama ketika aku bertemu mereka, namun sudahlah, biarkan mereka melahap sepotong ayam dan minuman pilihannya.

Mereka hanya satu dari banyaknya kasus pemberdayaan anak ecil dibawah usia. Mereka tak sepantasnya mencari nafkah dan hidup di jalan dengan usia mereka yang masih terbilang sangat rentang akan kasus kekerasan, penculikan atau bahkan pelecehan seksual yang baru-baru ini marak terjadi di ibu kota. Apabila masa kecil mereka sudah dibebani dengan tuntutan perkerjaan yang begitu berat seperti ini tanpa ada pencerdasan moral, aku mengkhawatirkan perkembangan mereka ketika dewasa nanti. Aku mengkhawatirkan generasi penerus Indonesia beberapa tahun kedepan.

Entah kapan seluruh anak di Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak hingga mereka tumbuh menjadi generasi yang cerdas dengan pengetahuan yang luas.





Semoga… kita doakan saja.

Komentar

  1. Ceritanya menarik dan Inspiring sekali. keep writing!!!

    BalasHapus

Posting Komentar