LDR. Love Different Religion. (Part 1)

Mungkinkah Rosario dan tasbih memang ditakdirkan untuk tetap erat pada genggaman jemari tangan kita masing-masing?










Gemericik air hujan mengair merdu menelusuri dan membasahi tepi demi tepi halaman. Suara air hujan menjadi sebuah iringan lagu dari doa yang sedang di panjatan seorang wanita yang sedang bersujud di atas sajadah di tengah keheningan malam.

“Ya Allah, jika sebuah kesamaan membuat semuanya selaras, dapatkah sebuah perbedaan menyatukan cinta dari kedua hamba-Mu yang sedang memadu kasih?”


Semilir air membasahi kedua pelupuk mata wanita itu kemudian mengalir menuju pipi.
Di sisi lain, seorang laki-laki tengah berlutut di depan altar dengan segala kegundahan di hatinya.

“Tuhan, talipitakan kita di dalam karunia dan kebesaranMu. Jadikan sebuah perbedaan ini menjadi keselarasan yang indah.”
Angin malam menelusuri tubuh yang sedah rapuh dan mendekap ke dalam hati lelaki itu.


***


“Hey, gimana kuliahmu hari ini?”
“Ah, aku bosan dengan rutinitas ini. Berat sekali rasanya memasuki smester 5. Rasanya mau nikah aja deh.”
“Dasar cewek, kamu lagi kodein aku ya??”
“Loh, memang kamu mau banget aku kodein? Hahahaha”
“Tuh kan, dasar kamu ngeselin. Hahahaha”

Kebersamaan yang selalu menyenangkan. Kualitas waktu bersama yang tak pernah ada kekesalan.
Semuanya begitu indah….
Semuanya begitu menyenangkan…..
Sampai akhirnya perbedaan itu kembali mencuat...


“Sayang, berhenti di masjid depan dulu ya. Udah masuk waktu Ashar nih.”
“Oh, yang itu ya? Oke bos!”
Mobil merah keluaran Jepang itu memasuki halaman masjid dan masuk ke dalam parkiran.
“Kamu mau turun apa tunggu disini?”
“Hmmm… aku tunggu disini aja ya.”
“Eh, bener juga sih nanti kamu kalo keluar ketuker sama bedug masjid loh. Hahahaha”
“Yeeeee udah sana buruan shalat keburu malaikat males  nyatet pahala kamu loh.”


Jose sudah terbiasa menunggu Ami menunaikan ibadah sedangkan ia menunggu di dalam mobil. Sampai akhirnya ia merasa tidak nyaman dengan rutinitas yang setiap hari ia lakukan ini. Ada perasaan tidak nyaman dan mengganjal ketika dirinya dan Ami di pisahkan oleh sebuah bangunan yang bernama Masjd dan Gereja. Semakin lama perasaan itu membuat Jose gerah. Tetapi ia tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah keadaan ini.


“Dor! Ngelamun aja, aku udah selesai nih. Kamu lagi mikirin apa sih?”
“Ah, kamu ngagetin aja deh. Enggak, yaudah yuk kita beragkat.”
“Meluncuuuuuuuuur!!!”


Selalu ada saja bahasan yang mereka bahas ketika sedang bersama. Dari mulai teman sekelas Jose yang suka bagi-bagi foto selfie dirinya ke orang lain, adik ami yang suka ngelindur sampai ke dapur bikin mie instan dan banyak topic yang mereka obrolkan sepanjang jalan.

Sampai akirnya mereka terdiam dan hanya bisa menatap nanar ke depan karena radio yang sedang  mereka dengarkan memutarkan lagu Marcell – Peri Cintaku.
Mereka benci lagu ini….
Mereka selalu merasa sesak ketika mendengar lagu ini…




Aku untuk kanu, kamu untuk aku. Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda…




Setelah mencapai lirik itu Ami langsung memencet tombol OFF pada radio.

“Duh, kenapa sih si Marcell harus bikin lagu itu. Nggak suka banget deh.” Gerutunya.
“Kenapa? Lagunya bagus kok, yang.”
“HAH? Sejak kapan kamu suka lagu itu? Itu kan lagu….. ah udahlah.”
“Yaaa, tapi lirik lagu itu jujur banget.”
“Apa? Jujur buat ngungkapin kalo perbedaan nggak bisa di satuin gitu?”
“Sayang, sepinter-pinternya kita mencoba buat nutupin dan mencoba  merasa nyaman dengan apa yang lagi kita jalanin sekarang, lambat laun kita harus membahas dan memecahkan tantangan ini.”
“Tapi aku nggak suka Jose, aku nggak suka…” suara Ami merendah dan di susuli isak tangis yang memilukan.

Jose menghentikan mobilnya di bahu jalan dan menatap ke arah Ami secara dalam-dalam.

“Sayang, jujur ya, sebenernya aku ngerasa  nggak Nyman dengan rutinitas kita setiap hari kamu ke masjid dan aku harus nunggu kamu di luar. Aku benci sama diri aku sendiri, kenapa aku nggak bisa nemenin kamu masuk ke dalam masjid itu, kenapa aku nggak bisa jadi imam kamu ketika kamu shalat dan kenapa aku cuma bisa memandang kamu dari kejauhan dan terpisah di antara bangunan itu. Aku yakin, ketika kamu nunggu aku selesai ibadah di gereja, kamu pasti merasakan hal yang sama. Ya kan?”

“…. Aku sayang sama kamu, Mi. Sayang banget. Walaupun keadaannya sekarang aku berlutut dan kamu bersujud, walaupun kita berdoa kepada Tuhan yang sama dengan cara yang berbeda, aku yakin Tuhan pasti mendengar setiap doa kita.”


“Tapi Jose, rasanya sakit kalau membahas hal ini secara berulang-ulang.”
“Kita harus berjuang bareng-bareng kalo kita ingin terus bersama. “
“Tapi aku-“
“Sssshh… kita pasti kuat hadapin semuanya sayang.” Jose memeluk dan menghapus air mata Ami yang semakin berjatuhan.

“TAPI GIMANA MUNGKIN KITA BERSAMA KALO KITA BERBEDA? CARA KITA MENYEMBAH TUHAN AJA SUDAH BEDA, CARA KITA MEMANDANG SESUATU JUGA BEDA, CARA KITA BERDOA SANGAT BERBEDA. KITA TUH BEDA JOS, DAN NGGAK AKAN PERNAH SAMA…” Emosi Ami semakin meluap dan ia melepas rangkulan tangan Jos.

“Tapi semuanya masih ada harapan kalo kita mau berusaha buat berjuang bareng-bareng. Kita baru bahas berdua aja kamu udah emosi begini, gimana kita bahas di depan orang tua aku dan kamu. Bahas berdua saja rasanya kamu sudah tidak sepaham denganku.”

“Nah, itu dia Jos. Bahkan kita tidak sepahm dalam memandang ini semua kan?? Lalu apakah kalau kita sepaham dalam membahas ini berdua, lantas kamu rela meninggalkan dan mengkhianati Tuhan-mu dan berpaling kepada Tuhan-ku demi mempertahankan aku???”


Jose terdiam. Kata-kata Ami seperti menampar pipinya bertubi-tubi. Terkadang, cinta saja tidak cukup untuk menghapus semua perbedaan yang sebelumnya sudah tertanam.






**** to be continued ****

Komentar